Berbagai faktor seperti adanya corporate tax, biaya kebangkrutan, dan personnal tax, telah dipertimbangkan untuk menjelaskan mengapa suatu perusahaan akhirnya memilih struktur modal tertentu (Brigham et al., 1999). Artikel ke 2 dari Myers (1984) menampilkan balancing theory atau trade off theory (teori keseimbangan) yang menyeimbangkan manfaat (perlindungan pajak) dan pengorbanan (bunga) yang timbul sebagai akibat penggunaan utang oleh perusahaan. Teori ini dijelaskan lebih lanjut dalam Brealey dan Myers, (1996) bahwa perusahaan akan meningkatkan utang manakala penghematan pajak (tax shield) lebih besar daripada pengorbanannya, dan penggunaan utang tersebut akan berhenti manakala terjadi keseimbangan antara penghematan dan pengorbanan akibat penggunaan utang tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Myers (1984) ini memperjelas konsep pecking order theory. Dengan menggunakan istilah Modified Pecking Order Theory, artikel Myers 2 (1984) dapat disimpulkan bahwa :
1. Perusahaan cenderung mengutamakan (mendahulukan) penggunaan pendanaan internal.
2. Perusahaan akan menyesuaikan batasan atau target untuk devidend payout ratio pada peluang investasi yang dimiliki.
3. Kebijakan deviden ketat ditambah dengan fluktuasi profitabilitas yang tidak dapat diprediksi dan keberadaan kesempatan untuk berinvestasi mengakibatkan arus kas internal lebih besar atau lebih kecil ketimbang kebutuhan modal. Jika terjadi kelebihan dana, maka perusahaan akan membayar utangnya atau melakukan investasi pada sekuritas yang marketable. Tetapi jika terjadi kekurangan dana, maka perusahaan akan menguras persediaan kasnya atau menjual sekuritas yang dipegangnya.
4. Jika pendanaan eksternal diperlukan, perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu. Perusahaan akan mengawalinya dengan menerbitkan utang kemudian diikuti dengan penerbitan sekuritas hybrid seperti obligasi konvertibel kemudian baru menerbitkan saham baru sebagai alternatif terakhir.
Pendanaan internal lebih diutamakan daripada pendanaan eksternal terjadi karena perusahaan tidak perlu untuk melibatkan pihak ketiga diluar manajemen dan pemegang saham dan terhindar dari biaya penerbitan (floatation cost). Dalam hal ini pihak manajemen sebagai pelaksana perusahaan lebih mengutamakan pada peningkatan dan maksimisasi kekayaan pemegang saham yang ada. Selain itu, dengan pendanaan internal terhindar dari tekanan keuangan (financial distress). Apabila pendanaan eksternal diperlukan karena kebutuhan dana belum mencukupi, maka dilakukan penerbitan obligasi atau utang jangka panjang sebagai prioritas pertama dibanding dengan menerbitkan saham baru. Karena penerbitan saham baru akan memperbesar jumlah saham yang beredar sehingga dimungkinkan terjadi penurunan harga saham (DeAngelo dan Masulis, 1980). Selain itu, biaya penerbitan untuk obligasi lebih kecil dari biaya penerbitan saham baru dan penerbitan obligasi ini tidak mempengaruhi (turun) harga saham karena jumlah saham yang beredar relatif tetap. Pengaruh dari informasi asimetri dan signalling yang diterima oleh calon investor dapat menciptakan persepsi buruk pada perusahaan sehingga dikhawatirkan terjadi penurunan harga pasar saham.
Pecking order theory mengarahkan keputusan pemilihan alternatif pendanaan perusahaan sesuai dengan jenjang pendanaan, dan konsep ini juga memberi arahan guna meminimalkan kebutuhan dana yang berasal dari pendanaan eksternal. Upaya yang dilakukan untuk meminimalkan kebutuhan pendanaan eksternal dilakukan dengan cara optimalisasi profitabilitas perusahaan dengan jalan melakukan penyesuaian yang tepat antara pemanfaatan peluang investasi dengan target devidend payout ratio dari perusahaan.
Dalam teori struktur modal konsep pecking order theory yang mengarahkan pengambilan keputusan pendanaan sesuai dengan urutan atau hirarki pendanaan tersebut mungkin bertentangan dengan konsep static tradeoff theory. Pada konsep static tradeoff theory, kebijakan struktur modal mengarah pada target debt to equity ratio, sedangkan konsep pecking order theory mengarah pada pengambilan keputusan pemilihan alternatif pendanaan berdasar kebutuhan dana semata. Pendanaan yang dipenuhi oleh sumber dana internal dan bila tidak mencukupi akan dipenuhi dengan pendanaan dari sumber dana eksternal, bukan untuk memenuhi tingkat rasio tertentu seperti pada konsep static trade off theory. Hal ini terlihat pada penelitian Myers dan Majluf (1984), Myers (1984), Baskin (1989), Jong dan Dijk (1999), dan Fama (2000).
Jika dilihat dari konsep agency theory bahwa tujuan meningkatkan kemakmuran pemegang saham sering bertentangan dengan tujuan pihak manajemen (manajer – eksekutif) perusahaan. Manajer seringkali mempunyai tujuan personal yang akan menimbulkan konflik kepentingan karena tujuan personal manajer bertentangan dengan tujuan maksimisasi kemakmuran pemegang saham (Brigham et al., 1999). Konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham dapat dieliminir dengan suatu mekanisme pengawasan yang dapat mensejajarkan kepentingan‑kepentingan yang terkait tersebut. Permasalahan yang dijelaskan Jansen dan Meckling (1976) kemudian terkenal dengan teori agensi menyatakan bahwa perusahaan yang memisahkan fungsi pengelolaan dan fungsi kepemilikan akan rentan terhadap konflik keagenan. Penyebab konflik antara manajer dengan pemegang saham di antaranya adalah pembuatan keputusan yang berkaitan dengan (1)aktivitas pencarian dana (financing decision), dan (2)keputusan yang berkaitan dengan bagaimana dana yang diperoleh tersebut diinvestasikan.
Masalah agency ini dapat dikurangi dengan beberapa alternatif yaitu, (1)dengan meningkatkan kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen (Hanson, 2000), managerial compensation, direct intervention, threat of firing, threat of take over (Brigham et al., 1999), bankruptcy law (Li, 1999), (2)dengan meningkatkan dividen payout, sehingga tidak terlalu banyak free cash flow, dan manajemen mencari dana dari luar (Crutchley dan Hansen, 1989), (3)meningkatkan pendanaan dengan utang (Jensen, 1986), (Jensen et al., 1992), dan (4)Institutional investor sebagai monitoring agents. Moh'd et al. (1998) menyatakan bahwa distribusi saham antara pemegang saham dari luar yaitu institutional investor dan shareholders dispersion dapat mengurangi agency cost. Karena kepemilikan tersebut mewakili suatu sumber kekuasaan source of power yang dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya terhadap keberadaan manajemen. Adanya kepemilikan oleh investor institusional seperti perusahaan dan kepemilikan oleh institusi lain akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen.
Istilah struktur kepemilikan digunakan untuk menunjukkan bahwa variabel‑variabel yang penting di dalam struktur modal tidak hanya ditentukan oleh jumlah utang dan equity tetapi juga oleh prosentase kepemilikan oleh manager dan institutional (Jensen dan Meckling, 1976). Hal ini terkait dengan fungsi monitoring dan klaim atas utang dan pemilik saham. Penyebab lain konflik antara manajer dengan pemegang saham adalah keputusan pendanaan. Para pemegang saham hanya peduli terhadap risiko sistematik dan harga saham perusahaan, karena mereka berusaha melakukan investasi pada portofolio yang terdiversifikasi dengan baik. Namun sebaliknya, manajer lebih peduli pada risiko perusahaan secara keseluruhan. Dengan demikian kepemilikan managerial dan institutional dapat mempengaruhi perilaku keputusan pencarian dana apakah melalui utang atau right issue.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar