Dalam akuntansi, utang didefinisikan sebagai kemungkinan pengorbanan masa depan dari manfaat ekonomi yang timbul dari kewajiban sekarang dari kesatuan tertentu untuk mentransfer aktiva atau jasa produktif ke kesatuan lain di masa depan sebagai hasil dari transaksi atau kejadian masa lalu (Keiso dan Weygandt, 1995).
Permasalahan yang berhubungan dengan utang, seperti yang dijelaskan Jensen (1986) adalah permasalahan biaya agensi atas utang yang disebabkan oleh adanya kegiatan peminjaman dana oleh perusahaan dari pihak kreditor. Kegiatan ini kemudian menimbulkan permasalahan yang melibatkan pihak shareholder sebagai pemilik, pihak manajemen sebagai pengelola, dan pihak kreditor sebagai pemberi pinjaman. Menurut Brigham et al. (1999), selain terdapat konflik antara shareholder dan manajer, terdapat juga konflik antara shareholder (melalui manajer) dan kreditor. Kreditor memiliki klaim terhadap perusahaan berupa pembayaran bunga atas utang perusahaan, dan pihak kreditor ini juga memiliki klaim terhadap aset perusahaan jika perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan.
Jika pemegang saham, yang bertindak melalui manajemen, melaksanakan suatu proyek yang memiliki risiko lebih tinggi dari pada yang diantsisipasi kreditor, kenaikan risiko ini akan menyebabkan tingkat pengembalian yang disyaratkan atas utang perusahaan meningkat pula, sehingga nilai utang yang ada akan menurun. Jika investasi yang lebih berisiko tersebut ternyata berhasil, maka semua keuntungan akan masuk ke kantong pemegang saham karena pembayaran atas utang kepada kreditor adalah tetap. Tetapi jika proyek itu mengalami kerugian, maka pihak kreditor juga harus menanggung akibatnya. Dalam situasi ini, pemegang saham memperoleh keuntungan dari pengorbanan kreditor.
Ketika tekanan keuangan (financial distress) terjadi dalam perusahaan dan perusahaan dihadapkan pada permasalahan mengenai kebangkrutan, maka suatu keputusan yang harus dibuat, salah satunya adalah melalui likuidasi bisnis dengan cara menjual aset perusahaan atau melakukan reorganisasi agar kelangsungan hidup perusahaan dapat dipertahankan. Manajemen dapat saja mengambil langkah pertama, yaitu melakukan likuidasi, namun umumnya manajemen memilih untuk mengamankan karir mereka melalui cara reorganisasi. Hal ini selanjutnya akan menimbulkan konflik antara manajer dengan shareholder atau antara manajer dengan kreditor, atau bahkan antara keduanya.
Likuidasi ataupun reorganisasi perusahaan ini akan mengakibatkan nilai dari sekuritas yang dimiliki oleh shareholder menjadi lebih kecil dari nilai sebelumnya. Pihak kreditor pada umumnya menginginkan agar perusahaan segera dilikuidasi agar mereka dapat memperoleh dana mereka lebih cepat dengan menjual aset perusahaan. Pihak manajemen di sisi lain pada umumnya menginginkan agar perusahaan dapat terus hidup dengan cara reorganisasi. Pada akhirnya, pihak shareholder menginginkan agar manajemen perusahaan segera dipecat dan digantikan dengan manajemen yang baru karena pihak manajemen tersebut tidak dapat mengelola perusahaannya dengan baik, dan hal ini tentu tidak menguntungkan pihak manajemen.
Masalah moral hazard yang timbul akibat penggunaan utang menurut Scott (2003) adalah antar manajer dan kreditor. Bahwa manajer mungkin akan melakukan tindakan yang bertentangan dengan the best interest yang dimaui kreditor. Kreditor yang rasional akan mengantisipasi perilaku ini dengan cara meningkatkan tingkat bunga yang diminta atas utang tersebut. Keadaan ini menjadikan manajer menggunakan cara insentif dan bertindak yang tidak sesuai dengan kepentingan kreditor. Maka, perjanjian utang diperlukan sebagai kesepakatan antara manajer dan kreditor agar manajer setuju dengan opsi pembatasan pembayaran dividen, atau penambahan utang jika utang belum terselesaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar