Pandangan pemegang saham dan pengguna laporan keuangan pada saat ini telah berubah. Mereka tidak hanya memfokuskan pada perolehan laba perusahaan tetapi juga memperhatikan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Selain itu, kelangsungan hidup perusahaan pun tidak hanya ditentukan oleh pemegang saham tetapi stakeholder secara keseluruhan. Perusahaan tidak bisa hanya berorientasi pada capaian laba jangka pendek dengan mengabaikan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Bahkan pengabaikan terhadap hal ini dapat mengakibatkan tuntutan serius dan mengancam kelangsungan hidup perusahaan.
Apabila ditelaah, kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas perusahaan, tentunya juga akan merugikan perusahaan itu sendiri, di mana kegiatan-kegiatan perusahaan dapat terhenti bila lingkungannya rusak. Mencegah terjadinya kerusakan lingkungan juga merupakan salah satu tanggung jawab perusahaan. Menciptakan tanggung jawab sosial perusahaan ini dapat dimulai dari dalam lingkungan perusahaan menciptakan budaya keterbukaan (transparancy) di antara para karyawan dan manajemen perusahaan. Keterbukaan ini berkaitan dengan pengungkapan (disclosure) semua kebijakan-kebijakan perusahaan, sehingga karyawan dapat dengan mudah mengakses informasi yang ingin diketahuinya. Selain hubungan di dalam perusahaan (internal), perusahaan dalam mengendalikan roda bisnisnya juga berinteraksi dengan pihak-pihak di luar perusahaan (eksternal) seperti pemerintah, pemasok, dan masyarakat.
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam menjalin hubungan dengan stakeholders, pertama, perusahaan haruslah memberikan informasi yang benar dan jujur kepada para investor, di mana informasi yang tidak benar akan menjerumuskan para investor untuk mengambil keputusan. Kedua, dalam mengadakan kerja sama kedua belah pihak harus mempunyai itikad yang baik dan kepercayaan, sehingga kerja sama tersebut dapat berjalan dengan baik serta menguntungkan kedua belah pihak.
Tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dapat diwujudkan dengan meningkatkan kepedulian perusahaan terhadap masalah-masalah sosial yang berkembang di sekitar perusahaan. Implementasi dari tanggung jawab sosial perusahaan tidaklah terlepas dari penerapan konsep CG di dalam perusahaan itu sendiri. Penerapan CG akan mendorong manajemen perusahaan untuk mengelola perusahaan secara benar, termasuk mengimplementasikan tanggung jawab sosialnya. Dewan komisaris hendaknya berperan untuk menjaga agar dewan direksi tidak melalaikan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang diemban perusahaan.
Citra bahwa perusahaan peduli terhadap masyarakat dan lingkungan, saat ini, menjadi penting. Hal ini dikarenakan perusahaan bukan hanya mengejar keuntungan untuk pribadi pemilik, tetapi juga harus menjaga dan memberi nilai tambah pada masyarakat dan lingkungannya. Para investor pun mengalami perubahan pandangan investasi. Mereka tidak hanya mencari return yang besar tetapi juga mencari perusahaan yang ramah lingkungan dan menjalankan tang-gung jawab sosial.
Bagaiman Maestro
Jumat, 23 September 2011
Asas Good Corporate Governance
Setiap perusahaan harus memastikan bahwa asas CG diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan. Asas GCG menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG, 2006) yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan. Asas ini diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha (sustainability) perusahaan dengan memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholders). Kelima asas tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Transparansi (Transparency)
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
Perusahaan harus menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan haknya. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi. Kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan.
2. Akuntabilitas (Accountability)
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. Perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing-masing organ perusahaan dan semua karyawan secara jelas dan selaras dengan visi, misi, nilai-nilai perusahaan (corporate values), dan strategi perusahaan. Perusahaan harus meyakini bahwa semua organ perusahaan dan semua karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan perannya dalam pelaksanaan GCG. Perusahaan harus memastikan adanya sistem pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan perusahaan. Perusahaan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran perusahaan yang konsisten dengan sasaran usaha perusahaan, serta memiliki sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment system). Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap organ perusahaan dan semua karyawan harus berpegang pada etika bisnis dan pedoman perilaku (code of conduct) yang telah disepakati.
3. Responsibilitas (Responsibility)
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.. Organ perusahaan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan peraturan perusahaan (by-laws). Perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain peduliterhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.
4. Independensi (Independency)
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Masing-masing organ perusahaan harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif. Masing-masing organ perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan yang lain.
5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan perusahaan serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing. Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan kepada perusahaan. Perusahaan harus memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, gender, dan kondisi fisik.
1. Transparansi (Transparency)
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
Perusahaan harus menyediakan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan haknya. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perusahaan tidak mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan kerahasiaan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak pribadi. Kebijakan perusahaan harus tertulis dan secara proporsional dikomunikasikan kepada pemangku kepentingan.
2. Akuntabilitas (Accountability)
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. Perusahaan harus menetapkan rincian tugas dan tanggung jawab masing-masing organ perusahaan dan semua karyawan secara jelas dan selaras dengan visi, misi, nilai-nilai perusahaan (corporate values), dan strategi perusahaan. Perusahaan harus meyakini bahwa semua organ perusahaan dan semua karyawan mempunyai kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan perannya dalam pelaksanaan GCG. Perusahaan harus memastikan adanya sistem pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan perusahaan. Perusahaan harus memiliki ukuran kinerja untuk semua jajaran perusahaan yang konsisten dengan sasaran usaha perusahaan, serta memiliki sistem penghargaan dan sanksi (reward and punishment system). Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, setiap organ perusahaan dan semua karyawan harus berpegang pada etika bisnis dan pedoman perilaku (code of conduct) yang telah disepakati.
3. Responsibilitas (Responsibility)
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.. Organ perusahaan harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan peraturan perusahaan (by-laws). Perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab sosial dengan antara lain peduliterhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang memadai.
4. Independensi (Independency)
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain. Masing-masing organ perusahaan harus menghindari terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara obyektif. Masing-masing organ perusahaan harus melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan, tidak saling mendominasi dan atau melempar tanggung jawab antara satu dengan yang lain.
5. Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)
Dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Perusahaan harus memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan perusahaan serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing. Perusahaan harus memberikan perlakuan yang setara dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan kepada perusahaan. Perusahaan harus memberikan kesempatan yang sama dalam penerimaan karyawan, berkarir dan melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, gender, dan kondisi fisik.
Selasa, 20 September 2011
ETIKA LINGKNGAN HIDUP
ETIKA LINGKNGAN HIDUP
Filsafat Lingkungan
Filsafat secara harfiah berarti cinta
kebijaksanaan. Maksudnya adalah pengetahuan tentang kenyataan yang
paling umum dan kaidah-kaidah realitas, serta hakekat manusia dalam segala
aspek perilakunya, seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan (Merriam-Webster).
Lingkungan hidup, sering disebut sebagai lingkungan,
adalah istilah yang dapat mencakup segala makhluk hidup dan tak hidup di alam yang ada di Bumi atau bagian
dari Bumi, yang berfungsi secara alami tanpa campur tangan manusia yang
berlebihan.
Etika lingkungan hidup sebagai sebuah disiplin filsafat yang
berbicara mengenai hubungan moral antara manusia dengan lingkungan atau alam
semesta, dan bagaimana perilaku manusia yang seharusnya terhadap lingkungan
hidup. Etika lingkungan hidup tidak hanya berbicara mengenai perilaku manusia
terhadap alam. Etika lingkungan hidup juga berbicara mengenai relasi di antara
semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan manusia yang
mempunyai dampak pada alam dan antara manusia dengan makhluk hidup lain atau
dengan alam secara keseluruhan. Termasuk di dalamnya, berbagai kebijakan
politik dan ekonomi yang mempunyai dampak langsung atau tidak langsung terhadap
alam.
Krisis lingkungan hidup dewasa ini hanya bisa diatasi dengan
melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara
fundamental dan radikal. Dibutuhkan sebuah pola hidup atau gaya hudup baru yang
tidak hanya menyangkut orang per orang, tetapi juga budaya masyarakat secara
keseluruhan. Artinya, dibutuhkan etika lingkungan hidup yang menuntun manusia
untuk berinteraksi secara baru dalam alam semesta.
Dengan ini mau dikatakan bahwa krisis lingkungan hidup global yang
kita alami dewasa ini sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis
dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat
manusia dalam keseluruhan ekosistem. Pada gilirannya, kekeliruan cara pandang
ini melahirkan perilaku yang keliru terhadap alam. Manusia keliru memandang
alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya. Dan
inilah awal dari semua bencana lingkungan hidup yang kita alami sekarang. Oleh
karena itu, pembenahannya harus pula menyangkut pembenahan cara pandang dan
perilaku manusia dalam berinteraksi baik dengan alam maupun dengan manusia lain
dalam keseluruhan ekosistem.
Aliran Etika Lingkungan
Antroposentrisme
Antroposentrisme
adalah teori etika lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat dari
sistm alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang lebih menentukan
dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan
alam, baik secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia
dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian.
Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan
perhatiannya sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karena itu,
alampun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan
dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam
tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
Antroposentrisme
juga dilihat sebagai sebuah teori filsafat yang mengatakan bahwa nilai dan
prinsip moral hanya berlaku bagi manusia, dan bahwa kebutuhan dan kepentingan
manusia mempunyai nilai paling tinggi dan penting. Bagi teori antroposentrisme,
etika hanya berlaku bagi manusia. Maka, segala tuntutan mengenai perlunya
kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidup dianggap
sebagai tuntutan yang berlebihan, tidak relevan dan tidak pada tempatnya. Kalau
tuntutan itu masuk akal, itu hanya dalam pengertian tidak langsung, yaitu
sebagai penentuan kewajiban dan tanggung
jawab moral manusia terhadap sesama. Maksudnya, kewajiban dan tanggung jawab
moral manusia terhadap lingkungan hidup—kalaupun itu ada—itu semata-mata demi
memenuhi kewajiban sesama manusia. Kewajiban dan tanggung jawab terhadap alam
hanya merupakan perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap sesama
manusia. Bukan merupakan perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral manusia
terhadap alam itu sendiri.
Selain bersifat
antroposentris, etika ini sangat instrumentalistik, dalam pengertian pola
hubungan manusia dan alam dilihat hanya dalam relasi instrumental. Alam disini
sebagai alat bagi kepentingan manusia. Kalaupun manusia mempunyai sifat peduli
terhadap alam, itu semata-mata dilakukan demi menjamin kebutuhan hidup manusia,
bukan karena pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada diri sendiri sehingga
pantas untuk dilindungi. Sebaliknya, kalau alam itu sendiri tidak berguna bagi
kepentingan manusia, alam akan diabaikan begitu saja. Dalam arti itu,
antroposentrisme juga disebut sebagai etika teleologis karena mendasarkan
pertimbangan moral pada akibat dari tindakan tersebut bagi kepentingan manusia.
Suatu kebijakan dan tindakan yang baik dalam kaitan dengan lingkungan hidup
akan dinilai baik kalau mempunyai dampak yang menguntungkan bagi kepentingan
manusia. Konservasi misalnya, hanya dianggap serius sejauh itu bisa dibuktikan
mempunyai dampak menguntungkan bagi kepentingan manusia, khususnya kepentingan
ekonomis.
Teori semacam ini
juga bersifat egoistis, karena hanya mengutamakan kepentingan manusia.
Kepentingan makhluk hidup lain, dan juga alam semesta seluruhnya, tidak menjadi
pertimbangan moral manusia. Kalaupun mendapat pertimbangn moral, sekali lagi,
petimbangn itu bersifat egoistis: demi kepentingan manusia.
Karena berciri
instrumentalistik dan egoistis, teori ini dianggap sebagai sebuah etika
lingkungan hidup yang dangkal dan sempit (shallow
environmental ethics). Di bandingkan dengan dua teori lain dalam bahasan
lanjutan, etika ini terlalu sempit dan dangkal dalam menantang keseluruhan
ekosistem, termasuk manusia dan tempatnya di dalam alam semesta.
Sejauh ini, teori
tersebut dituduh sebagai salah satu penyebab, bahkan penyebab utama, dari
krisis lingkungan hidup yang kita alami sekarang. Krisis lingkungan hidup
dianggap terjadi karena perilaku manusia yang dipengaruhi oleh cara pandang
antroposentris. Cara pandang antroposentris ini menyebabkan manusia
mengeksploitasi dan menguras alam semesta demi memenuhi kepentingan dan
kebutuhan hidupnya, tanpa cukup memberi perhatian kepada kelestarian alam. Pola
perilaku yang eksploitatif, destruktif dan tidak peduli terhadap alam tersebut
dianggap berakar pada cara pandang yang hanya mementingkan kepentingan manusia.
Cara pandang ini melahirkan sikap dan perilaku rakus dan tamak yang menyebabkan
manusia mengambil semua kebutuhannya dari alam tanpa mempertimbangkan
kelestariannya, karena alam dipandang hanya ada demi kepentingan manusia. Apa
saja boleh dilakukan manusia terhadap alam, sejauh tidak merugikan kepentingan
manusia, sejauh tidak mempunyai dampak yang merugikan kepentingan manusia.
Kepentingan manusia yang dimaksud di sini lebih bersifat jangka pendek. Itulah
akar dari berbagai krisis lingkungan hidup.
Untuk memahami
teori yang dianggap mempunyai peran dominan bagi krisis lingkungan hidup dewasa
ini, kita akan membahas dua hal, Pertama,
berbagai teori yang menjustifikasi posisi sentral manusia dalam alam semesta.
Berbagai teori ini penting dipahami selain untuk melihat validasinya juga untuk
memungkinkan kita menanggapinya untuk melontarkan cara pandang yang lain,
sebagaimana kan dibahas berikut ini. Kedua,
hal yang juga perlu disoroti adalah etika instrumentalistik dari
antroposentrisme ini.
1.
Argumen Antroposentrisme
Pada umumnya agama Kristen dan
filsafat Barat, dan seluruh tradisi pemikiran liberal, termasuk ilmu
pengetahuan modern, dianggap sebagai akar dari etika antroposentrisme. Selain
teologi Kristen yang bersumber terutama pada kisah penciptaan dunia sebagaimana
dimuat dalam Kitab Kejadian, pemikir-pemikir
besar mulai dari Aristoteles, Thomas Aquinas, Rene Descartes dan Immanuel Kant
mempunyai andil sangat besar dalam membentuk cara pandang yang antroposentris
ini. Kisah penciptaan dalam teologi Kristen dan juga pemikiran besar dari
filsuf-filsuf besar ini sangat mempengaruhi cara pandang—dan dalam kaitan
dengan itu perilaku—manusia modern terhadap lingkungan hidup.
2.
Etika Instrumentalistik
Kendati antroposentrisme dikritik
sebagai biang keladi dari krisis ekologi, sebagai sebuah teori etika,
antroposentrisme mempunyai posisi moral tertentu yang positif dalam rangka
perlindungan lingkungan hidup. Di balik pandangan antroposentrisme itu, ada beberapa
posisi dan argumen moral yang akan dijadikan pegangan bagi perilaku manusia
dalam hubungan dengan lingkungan hidup.
Pertama, apa yang disebut Richard Sylvan dan
David Bannett sebagai prudential and instrumental arguments. Prudential argument terutama menekankan
bahwa kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia tergantung dari kelestarian
dan kualitas lingkungan hidup. Kelangsungan hidup manusia tergantung dari
kelestarian alam semesta beserta seluruh isinya. Jadi, kendati menurut
antroposentrisme, manusia dianggap terpisah dan berada di atas alam, teori
antroposentrisme tidak bisa mengingkari kenyataan ekologis bahwa ada
keterkaitan sangat erat—sebagaimana dipahami oleh Aristoteles dan Thomas
Aquinas—di antara semua makhkuk dalam alam, termasuk manusia. Dengan demikian,
manusia mempunyai kepentingan untuk melestarikan lingkungan hidup, karena
dengan melestarikan lingkungan hidup, manusia mempertahankan hidupnya sendiri.
Kedua, teologi Kristen yang terutama
dipengaruhi oleh kisah penciptaan dunia dalam Kitab Kejadian, memang sangat
kuat antroposentrismenya. Kisah penciptaan manusia dalam kitab kejadian tadi
sekaligus mengisyaratkan sebuah pesan moral yang kuat dalam kaitan dengan
hubungan antara manusia dengan alam. Karena manusia diciptakan secitra dengan
Allah, manusia mempunyai tanggung jawab moral khusus, bahkan sangat berat,
untuk menjaga dan melestarikan alam ciptaan—Nya ini. Manusia mempunyai
kedudukan istimewa dan terhormat, tetapi sekaligus diberi tanggung jawab
sebagai wakil Tuhan di dunia untuk memelihara ciptaan Tuhan seluruhnya.
Ketiga, sebagai aristokrat biologis,
manusia mempunyai tanggung jawab dan kewajiban moral untuk melayani, menjaga,
dan melindungi semua makhluk yang berada di bawah kekuasaannya. Jadi, dengan
menggunakan Kitab kejadian itu, bisa dikatakan bahwa karena diberi kewenangan
oleh Allah untuk menguasai alam semesta, manusia harus bertanggung jawab dan
mempunyai kewajiban moral untuk menjaga dan memlihara alam. Kekuasaan disini
tidak berati bertindak sewenang-wenang dan destruktif mengeksploitasi dan
merusak alam semesta. Kekuasaan juga harus dipahami sebagai menjaga,
melindungi, melestarikan. Apalagi citra Allah dalam agama Kristen selalu diindentikan
dengan citra Bapak, yang mempunyai kuasa untuk memberi makan, melindungi, memelihara
dan mempertahankan kehidupan anak-anaknya, dan semua yang berada dalam
kekuasaannya, bukan membinasakan anak dan semua yang berada dalam kekuasaanya.
Biosentrisme
Kalau antroposentrisme menggugah manusia untuk menyelamatkan
lingkungan hidup, itu didasarkan pada alasan bahwa lingkungan hidup dan alam
semesta dibutuhkan manusia demi memuaskan keentingannya. Biosentrisme justru
sebaliknya menolak argumen antroposentrime ini.
Bagi
biosentrisme, tidak benar bahwa hanya manusia yang mempunyai nilai. Alam juga
mempunyai nilai pada dirinya sendiri lepas dari kepentingan manusia.
Ciri utama etika ini adalah biocentric,
karena teori ini menganggap setiap kehidupan dan makhluk mempunyai nilai dan
berharga pada dirinya sendiri. Teori ini memganggap serius setiap kehidupan dan
makhluk hidup di alam semesta. Semua makhluk hidup bernilai pada dirinya
sendiri sehingga pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Alam perlu
diperlakukan secara moral, terlepas dari apakah ia bernilai bagi manusia atau
tidak.
Karena yang menjadi pusat perhatian dan yang dibela oleh teori ini
adalah kehidupan, secara moral, berlaku bahwa prinsip bahwa setiap kehidupan di
muka bumi ini mempunyai nilai moral yang sama sehingga harus dilindungi dan
diselamatkan. Teori ini mendasarkan pada
moralitas pada keluhuran kehidupan, entah pada manusia atau pada makhluk hidup lainnya. Karena bernilai pada
dirinya sendiri, kehidupan harus dilindungi. Untuk itu, diperlukan etika yang
berfungsi menutun manusia untuk bertindak secara baik demi menjaga dan
melindungi kehidupan tersebut. Jadi, biosentrisme mengklaim bahwa manusia
mempunyai nilai moral dan berharga justru karena kehidupan dalam diri manusia
bernilai pada dirinya sendiri. Hal ini berlaku juga bagi setiap kehidupan di
alam ini. Artinya, prinsip yang sama berlaku bagi segala sesuatu yang hidup dan
yang memberi serta menjamin kehidupan bagi makhluk hidup. Tanah, atau bumi,
dengan demikian bernilai moral dan harus diperlakukan secara moral, karena
memberi begitu banyak kehidupan.
Konsekuensinya, alam semesta adalah sebuah komunitas moral, di
mana setiap kehidupan dalam alam semesta ini, baik manusia maupun yang bukan
manusia, sama-sama mempunyai nilai moral. Seluruh kehidupan di alam semesta
sesungguhnya membentuk sebuah komunitas moral. Oleh karena itu, Kehidupan makhluk
apapun pantas dipertimbangkan secara serius dalam setiap keputusan dan tindakan
moral, bahkan lepas dari perhitungan untung-rugi bagi kepentingan manusia.
Itu berarti, harus ada perluasan lingkup keberlakuan etika dan
moralitas untuk mencakup seluruh kehidupan di alam semesta. Dengan demikian,
etika tidak lagi dipahami secara terbatas dan sempit sebagai hanya berlaku pada
komunitas manusia. Etika berlaku bagi seluruh komunitas biotis, termasuk
komunitas manusia dan makhluk hidup lain.
Untuk memahami lebih jauh teori ini, akan dibahas beberapa versi
dari teori ini. Akan tetapi, karena sebagaimana versi dari teori ini akan
dibahas secara khusus dalam kaitan dengan problem moral mengenai Hak Asasi
Alam, pada bagian ini pembahasannya hanya dibatasi pada dua pilar utama teori
ini, yaitu teori lingkungan hidup yang berpusat pada kehidupan (life—centered theory of environment)
atau biosentrisme dan the Land Ethic
dari Aldo Leopold. Selain kedua teori ini, juga akan dibahas tentang
anti-spesiesisme.
1.
Teori Lingkungan Hidup yang Berpusat
pada Kehidupan
Secara harfiah, biosentrisme juga
dikenal sebagai teori lingkungan hidup yang berpusat pada kehidupan. Inti teori
ini adalah manusia mempunyai kewajiban moral terhadap alam. Kewajiban ini tidak
bersumber dari kewajiban moral terhadap alam. Kewajiban ini tidak bersumber
dari kewajiban manusia terhadap sesama, sebagaimana dipahami antroposentrisme.
Kewajiban ini bersumber dan berdasarkan pada pertimbangan bahwa kehidupan
adalah sesuatu yang bernilai, entah kehidupan manusia atau kehidupan spesies
lain. Menurut teori ini, etika lingkungan hidup bukanlah salah satu cabang dari
etika manusia. Etika lingkungan hidup justru memperluas etika manusia agar
berlaku bagi semua makhluk hidup.
2.
Etika Bumi
Seorang tokoh penting lainnya dalam
teori biosentrisme adalah Aldo Leopold. Aldo Leopold melontarkan teori etika
lingkungan hidup yang disebutnya sebagai the
Land Ethic atau Etika Bumi. Etika Bumi menjadi sebuah teori etika
lingkungan hidup yang cukup klasik, yang muncul pada dan termasuk paling
pertama dari abad ini. Etika ini terutama dipicu oleh krisis lingkungan hidup
yang terjadi dalam masyarakat modern sekarang ini.
Inti dari Land Ethic atau Etika Bumi
terdiri dari dua prinsip. Prinsip pertama berbunyi: “A thing is right when it tends to preserve the integrity, stability,
and beauty of the biotic community. It is wrong when it tends otherwise.”
Dengan prinsip ini, Leopold ingin mengubah cara pandang manusia yang hanya
melihat bumi dan segala isinya seperti budak di zaman dulu kala, yaitu hanya sebagai
alat. Ia ingin mendobrak cara pandang yang hanya melihat bumi dan segala isinya
sekadar alat dan obyek dalam relasi ekonomis dan hanya mempunyai nilai dan
fungsi ekonomis bagi kepentingan manusia. “Bumi, seperti budak-perempuan
Odysseus, masih dianggap sebagai harta milik. Relasi dengan bumi masih sebatas
relasi ekonomis, menurut penguasaan dan bukan kewajiban.” Sebagai seorang ahli
kehutanan dia merasakan betul dan sangat prihatin bagaimana bumi dan tanah
diperlakukan hanya berdasarkan “keyakinan bahwa ekonomi menentukan semua pemanfaatan lahan. Ini sangat
keliru.”
3.
Anti Spesiesisme
Salah satu versi lain dari
biosentrisme adalah teori etika yang menuntut perlakuan sama bagi semua makhluk
hidup, hanya karena alasan bahwa semuanya memiliki kehidupan. Teori ini antara
lain dilontarkan oleh Peter Singer dan James Rachels.
Inti
teori ini adalah penolakan terhadap antroposentrisme yang dianggap sebagai
spesiesisme. Seperti halnya rasisme yang menganggap ras tertentu lebih unggul
dari ras yang lain, dan selalu bersikap diskriminatif terhadap ras yang
dianggap lebih rendah, spesiesisme menganggap speseis tertentu (dalam hal ini
manusia) lebih unggul dari spesies lain (dalam hal ini binatang dan tumbuhan).
Konsekuensinya, spsiesisme bersikap diskriminatif terhadap spesies yang
dianggap lebih rendah tidak berharga secara moral. Antroposentrisme dianggap
sebagai spesiesme karena menilai spesies manusia lebih tinggi kedudukannya dari
spesies lain dan karena itu selalu bersikap diskriminatif terhadap spsies atau
makhluk hidup lain.
Ekosentrisme
Ekosentrisme
merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan hidup biosentrisme. Selain
kelanjutan biosentrisme, karena ada banyak kesamaan diantara kedua teori ini. Kedua
teori ini mendobrak cara pandang antroposentrisme yang membatasi keberkakuan
etika hanya pada komunitas manusia. Keduannya memperluas keberlakuan etika
untuk mencakup komunitas biotis.
Sementara pada ekosentrisme, etika diperluas untuk mencakup komunitas ekologis
seluruhnya.
Jadi, berbeda dengan biosentrisme yang hanya memusatkan etika pada
komunitas biotis, pada kehidupan seluruhnya, ekosenrisme justru memusatkan
etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Secara
ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu
sama lain. Oleh karena itu, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya
dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga
berlaku terhadap semua realitas ekologis.
Salah satu versi teori ekosentrisme ini adalah teori etika
lingkungan hidup yang sekarang ini populer dikenal sebagai Deep Ecology. Sebagai sebuah istilah, Deep Ecology pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang
filsuf Noewegia, tahun 1973. Naes kemudian dikenal sebagai salah seorang tokoh
utama gerakan Deep Ecology hingga
sekarang. Dalam artikelnya yang berjudul “The Shallow and the Deep, Long-range
Ecological Movement: A Summary”, Naess membedakan antara dan deep ecological movement.
Deep Ecology (DE) menuntut suatu etika baru yang berpusat pada manusia, tetapi
berpusat pada makhluk hidup seluruhnya dalam kaitannya dengan upaya mengatasi
persoalan lingkungan hidup. Etika baru ini tidak mengubah sama sekali hubungan
antara manusia dengan manusia. Yang baru adalah, pertama, manusia dan kepentingannya bukan lagi ukuran bagi segala
sesuatu yang lain. Manusia bukan lagi pusat dari dunia moral. DE justru
memusatkan perhatian kepada semua spesies, termasuk spesies bukan manusia.
Singkatnya, kepada biosphere seluruhnya.
Demikian pula, DE tidak hanya memusatkan perhatian pada kepentingan jangka
pendek, tetapi jangka panjang. Maka, prinsip moral yang dikembangkan DE
menyangkut kepentingan seluruh komunitas ekologis.
Kedua, etika lingkungan hidup yang dikembangkan DE dirancang sebagai
sebuah etika praktis, sebagai sebuah gerakan. Artinya, prinsip-prinsip moral
etika lingkungan hidup harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkret. Etika
baru ini menyangkut suatu gerakan yang jauh lebih dalam dan komprehensif dari
sekedar sesuatu yang instrumental dan ekspansionis sebagaimana ditemukan pada
antroposentrisme dan biosentrisme. Etika baru ini menuntut suatu pamahaman yang
baru tentang relasi etis yang ada dalam alam semesta ini disertai adanya
prinsip-prinsip baru sejalan dengan relasi etis baru tersebut, yang kemudian
diterjemahkan dalam gerakan atau aksi nyata di lapangan. Dengan demikian, DE
lebih tepat disebut sebagai sebuah gerakan diantara orang-orang yang mempunyai
sikap dan keyakinan yang sama, mendukung suatu gaya hidup yang selaras dengan
alam, dan sama-sama memperjuangkan isu lingkungan hidup dan politik. Suatu
gerakan yang menuntut dan didasarkan pada perubahan paradigma secara mendasar
dan revolusioner, yaitu perubahan cara pandang nilai, dan perilaku atau gaya
hidup.
Akar gerakan DE telah ditemukan pada teori ekosentrisme pada
umumnya dan kritik sosial dari Henry David Thoureau, John Muir, D.H. Lawrence,
Robinson Jeffers, dan Aldo Huxley. Pengaruh Taoisme, Fransiskus Asisi, Zen
Budhisme, dan Barukh Spinoza juga sangat kuat dalam teori-teori dan gerakan DE.
Hanya saja, DE menjadi sangat terkenal dan digemari belakangan ini, terutama
pengaruh dari berbagai tulisan Arne Naess. Naess sendiri mengakui bahwa DE
sebagai gerakan internasional sesungguhnya bermula dari Richael Carson, yang
melalui bukunya Silent Spring (1962),
mengajak semua orang untuk melakukan perubahan mendasar di semua bidang untuk
menyelamatkan lingkungan hidup.
Kendati DE adalah sebuah teori dan gerakan etika lingkungan hidup
yang mencakup semua teori yang anti-antroposentrisme, tetapi karena sejauh ini
dipopulerkan oleh Arne Naess, maka bagian ini terutama akan membahas teori Arne
Naess. Untuk itu, pembahasan akan dibagi mejadi tiga topik utama. Pertama, platform aksi DE; kedua, prinsip-prinsip perjuangan etika
lingkungan hidup dari DE; ketiga,
bagaimana DE menyikapi isu-isu utama di bidang lingkungan hidup dibandingkan
dengan antroposentrisme atau shallow environmental ethics.
1.
Platform Aksi
Filsafat pokok DE disebut Naess
sebagai ecosophy. Akan tetapi, Naess
sendiri lebih suka menggunakan istilah ecosophy
T. Ecosophy adalah kombinasi antara “eco”
yang berati rumah tangga dan “sophy”
yang berarti kearifan. Jadi, ecosophy
berarti kearifan mengatur hidup selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga
dalam arti luas. Dalam hal ini, ecosophy
meliputi suatu pergeseran dari sekedar sebuah ilmu (science) menjadi sebuah kearifan (wisdom). Dalam hal ini, lingkungan hidup tidak sekedar sebuah ilmu
melainkan sebuah kearifan, sebuah cara hidup, sebuah pola hidup selaras dengan
alam. Ini menyangkut sebuah gerakan, gerakan dari semua penghuni rumah tangga,
penghuni alam semesta untuk menjaga secara arif lingkungannya sebagai sebuah
rumah tangga. Karena gerakan ini adalah gerakan ecosophy, DE juga dikenal sebagai sebuah gerakan filsafat, filsafat
lingkungan hidup. Sebagai filsafat lingkungan hidup DE selalu mengajukan
pertanyaan yang paling dalam, yang paling fundamental, yaitu pertanyaan nilai,
etika, dan kebijakan ekonomi dan politik.
Ecosophy juga dimaksudkan sebagai
penggabungan dari pendekatan ekologi sebagai ilmu atau kajian tentang
keterkaitan segala sesuatu di alam semesta dengan filsafat sebagai sebuah studi
atau pencarian akan kearifan. Dalam arti ini, ecosophy adalah sebuah kearifan manusia untuk hidup dalam
keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain dengan sebuah isi alam semesta
sebagi sebuah rumah tangga. Ecosophy
sekaligus mengatasi masalah yang terkait dengan kecenderungan ekologi untuk
menjadi cara pandang menyeluruh yang mencakup segalanya dan seakan mampu
menjawab semua masalah lingkungan hidup. Kecenderungan ini yang disebut Naess
sebagai ekologisme.
Pola hidup yang arif mengurus dan
menjaga alam sebagai sebuah rumah tangga ini bersumber dari pemahaman dan
kearifan bahwa segala sesuatu di alam semesta mempunyai nilai pada dirinya
sendiri, dan nilai ini jauh melampaui nilai yang dimiliki oleh dan untuk
manusia. Jadi, tidak hanya manusia yang mempunyai nilai dan kepentingan yang
harus dihargai, sebagaimana diklaim oleh etika antroposentrisme. Semua isi alam
semesta ini mempunyai nilai untuk dihargai. Kearifan ini terungkap dalam perilaku
dan tindakan konkret sebagai sebuah aksi dan gerakan nyata. Kearifan ini menjelma
menjadi sebuah pola hidup, sebuah gaya hidup, seperti halnya aksi nyata sebagai
pola hidup di seiap rumah tangga untuk merawat rumah tangganya setiap hari.
2.
Prinsip-prinsip gerakan lingkungan
hidup
Ada beberapa prinsip yang dianut oleh
DE, antara lain pertama, biospheric
egalitarianism—in principle, yaitu pengakuan bahwa semua organisme dan
makhluk hidup adalah anggota yang sama statusnya dari suatu keseluruhan yang
terkait sehingga mempunyai martabat yang sama. Pengakuan ini menunjukkan adanya
sikap hormat terhadap semua cara dan bentuk kehidupan di alam semesta. Ini
menyangkut semua pengakuan dan penghargaan terhadap “hak yang sama untuk hidup
dan berkembang”, yang tidak hanya berlaku bagi semua makhluk hayati, tetapi
juga bagi yang nonhayati. Bagi Naess, “hak semua bentuk kehidupan untuk hidup
adalah sebuah hak universal yang tidak bisa diabaikan.” Oleh karena itu,
bentuk-bentuk kehidupan hanya perwujudan dari keragaman dan kekayaan kehidupan
itu sendiri, dan bukan suatu tingkatan yang hirarkis.
Dengan prinsip ini sekaligus mau
dikatakan bahwa nilai sebuah benda di alam semesta ini tidak hanya berkaitan
dengan kebutuhan atau kepentingan manusia. Prinsip ini mengacu pada pengakuan
bahwa segala sesuatu di alam semesta ini harus dihargai karena mempunyai nilai
pada dirinya sendiri. Manusia hanya salah satu bentuk kehidupan yang pada
prinsipnya sama kedudukannya dalam tatanan ekologis dengan semua bentuk
kehidupan lain. Bahwa semua bentuk kehidupan mempunyai keunikan
sendiri-sendiri—termasuk manusia—itu justru memperkaya kehidupan dan bukan
dimaksudkan yang satu lebih tinggi dan
bernilai sehingga mendominasi yang lain.
Kedua, prinsip non-antroposentrisme, yaitu
manusia merupakan bagian dari alam, bukan di atas atau terpisah dari alam.
Manusia tidak dilihat sebagai tuan dan penguasa dari alam semesta, tetapi
statusnya sama sebagai ciptaan Tuhan. Itu suatu pandangan filosofis yang
mengacu pada pemikiran metafisik dari Barukh Spinoza bahwa manusia adalah
bagian dari alam dan tidak mempunyai kedudukan istimewa di dalam alam. DE
memandang manusia hanya salah satu spesies di tengah begitu banyak spesies
lain. Semua spesies ini mempunyai nilai yang sama. DE lalu menggantikan
perspektif yang lebih sempit yang berpusat pada manusia dengan perspektif
bioregional atau global yang lebih luas. Dominasi manusia lalu digantikan dengan
sikap ketergantungan manusia terhadap lingkungan atau ekosistem.
Manusia berpartisipasi dengan alam,
sejalan dengan kearifan prinsip-prinsip psikologis. Ini berarti manusia harus
mengakui bahwa kelangsungan hidupnya dan spesies lainnya tergantung dari
kepatuhan pada perinsip-prinsip ekologis. Sejalan dengan ini, tujuan dan
keentingan manusia tetap saja diperjuangkan, tetapi bukan dengan mendominasi
spesies yang lain, apalagi dengan mengabaikan tujuan dan kepentingan spesies
yang lain. Tujuan dan kepentingan manusia diperjuangkan dengan mengintegrasikan
secara secara arif tujuan dan kepentingan spesies yang lain. Sikap dominasi
lalu digantikan dengan sikap hormat terhadap alam.
Ketiga, prinsip realisasi diri (self-realization). Melanjutkan filsafat
Aristoteles dan Spinoza, Naess beranggapan bahwa manusia merealisasikan dirinya
dengan mengembangkan potensi diri. Hanya melalui itu ia bisa mempertahankan
hidupnya. Berbeda dengan Aristoteles dan seluruh tradisi filsafat Barat yang
hingga sekarang memahami manusia hanya sebatas sebagai makhluk sosial (social animal), Naess dan DE justru
memahami manusia sebagai makhluk ekologis (ecological
animal). Konsekuensinya, Aristoteles dan seluruh tradisi filsafat Barat
menganggap realisasi diri manusia berlangsung dalam komunitas sosial manusia,
dan hanya dalam komunitas sosialnya manusia berkembang menjadi dirinya sendiri.
Naess dan DE justru memperluas cara pandang ini. Bagi Naess dan DE, realisasi
diri manusia itu berlangsung dalam komunitas ekologis. Artinya, manusia
berkembang menjadi manusia yang penuh dan utuh justru dalam relasi dengan semua
kenyataan kehidupan dalam alam. Manusia tidak hanya berkembang menjadi manusia
dalam relasi dengan sesama manusia, seperti pada Aristoteles.
3.
Sikap DE terhadap Beberapa Isu
Lingkungan Hidup
Sebagai sebuah gerakan yang tidak
hanya berhenti pada teori, DE menerjemahkan cara pandang dan platform gerakan tersebut dalam sikap
nyata terhadap beberapa isu lingkungan hidup. Sikap ini tampak jelas berbeda
dari sikap yang diambil oleh SEM. Sebagai contoh, lihat beberapa isu berikut
ini.
Pertama, dalam menghadapai isu pencemaran,
SEM akan mencari teknologi untuk membersihkan limbah air dan udara yang semakin
memperluas lingkup pencemaran tadi. Bersamaan dengan itu, dibuat undang-undang
untuk membatasi pencemaran hanya sampai batas yang bisa diperbolehkan.
Industri-industri yang tidak ramah lingkungan di pindahkan ke negara-negara
sedang berkembang. Sebaliknya, DE justru mengevaluasi pencemaran tadi dari
sudut pandang biosferik. Maka, DE tidak memusatkan perhatian hanya pada dampak
pencemaran bagi kesehatan manusia, tetapi pada kehidupan secara keseluruhan,
termasuk kondisi-kondisi kehidupan dari setiap spesies dan sistem. Jadi,
pendekatannya bukan antroposentris, melainkan biosentris atau lebih luas
ekosentris.
Dalam hal ini, prioritas utama DE
adalah mengatasi sebab utama yang paling dalam dari pencemaran, dan bukan
sekedar dampak superfisial dan jangka pendek. Sehubungan dengan itu, ada
kesadaran bahwa Dunia Ketiga dan Keempat tidak mampu menanggung seluruh biaya
yang diperlukan untuk mengatasi pencemaran lingkungan di wilayahnya
masing-masing. Perlu ada kerja sama dengan negara-negara Dunia Pertama dan
Kedua untuk membantu mereka. Ekspor limah tidak hanya merupakan suatu kejahatan
terhadap umat manusia (crime against
humanity), tetapi juga kejahatan terhadap kehidupan seluruhnya (crime against life in general).
Kedua, dalam kaitan dengan isu sumber daya
alam, SEM lebih menekankan pentingnya sumber daya alam bagi manusia, khususnya
untuk generasi sekarang di negara-negara kaya. Tumbuhan, binatang mineral hanya
bernilai sebagi sumber daya untuk kepentingan manusia. Sejalan dengn itu,
sumber daya alam adalah milik dari negara dan orang yang memiliki teknologi
untuk mengeksploitasinya. Ini jelas terlihat dari kenyataan bahwa kekayaan
sumber daya alam di negara-negara sedang berkembang yang miskin, ternyata
dieksploitasi dan dikeruk oleh perusahaan-perusahaan dari negara-negara maju,
karena mereka mempunyai modal dan teknologi. Ada keyakinan yang cukup kuat
bahwa sumber daya alam tidak akan habis, karena semakin langka sumber daya
alam, nilai pasarnya yang semakin tinggi justru akan mempertahankannya.
Demikian pula, akan ditemukan penggantinya berkat kemajuan teknologi.
Sebaliknya, perhatian utama DE adalah
sumber daya alam dan habitat bagi semua bentuk kehidupan. Isi alam semesta
tidak dilihat sekedar sebagai sumber daya. Hal ini melahirkan suatu sikap
kritis terhadao cara produksi dan konsumsi. Singkatnya, alam semesta dan
seluruh isinya dilihat dalam perspektif yang lebih luas. Alam dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya tidak direduksi dan dilihat semata-mata dari segi nilai
dan fungsi ekonomisnya, tetapi juga nilai dan fungsi budaya, sosial, spiritual
dan religius, medis, dan biologis. Alam dan kehidupan mempunyai nilai lebih luas
dari sekedar nilai ekonomis.
Ketiga, dalam kaitan dengan isu jumlah
penduduk, SEM melihat ancaman ledakan penduduk hanya sebagai masalah
negara-negara sedang berkembang. Isu mengenai “jumlah penduduk optimun” bagi
manusia dibicarakan lepas dari persoalan mengenai “jumlah populasi” optimum
bagi bentuk-bentuk kehidupan lain. Mengurangi jumlah penduduk di dunia secara
besar-besaran tidak dilihat sebagai tujuan jangka panjang yang perlu dicapai.
DE sebaliknya mengakui bahwa tekanan luar biasa terhadap kehidupan di bumi ini
disebabkan oleh ledakan penduduk manusia. Salah satu faktor utamanya adalah
ledakan penduduk di negara-negara industri, karena itu pengurangan penduduk
harus menjadi prioritas utama di negara-negara tersebut.
Keempat, dalam kaitan dengan keragaman budaya
dan teknologi tepat guna, SEM mengganggap industrialisasi sebagaimana
berkembang di negara-negara maju sebagai model yang harus ditiru negara-negara
sedang berkembang. Oleh karena itu, alih teknologi dari negara-negara industri
maju ke negara-negara sedang berkembang terjadi secara besar-besaran dan
semakin luas, tanpa mempersoalkan ketepatgunaannya, terutama dari segi
lingkungan hidup. Tidak ada penghargaan sama sekali terhadap keragaman budaya,
yang pada gilirannya ketika teknologi yang sama digunakan dalam dan dengan
budaya yang berbeda, problem dan lingkungan hidup yang serius dan akut tidak
bisa terhindari. Negara maju seakan mengekspor teknologi bersama dengan
kehancuran lingkungan hidup.
DE jusru berusaha untuk melindungi
keragaman budaya dari invasi masyarakat industri maju. Ini dilakukan karena
keragaman budaya dilihat sebagai analog dan berkaitan dengan keragaman dan
kekayaan bentuk-bentuk kehidupan. Dampak teknologi Barat terhadap negara-negara
sedang berkembang harus dibatasi dan negara-negara berkembang harus dilindungi
dari dominasi teknologi Barat. Harus dikembangkan teknologi tepat guna yang
sesuai dengan budaya setempat. Naess secara khusus juga berbicara mengenai
teknologi lunak (soft technology),
yang mampu mengenai kebutuhan vital manusia dengan sedikit sekali merusak alam.
Untuk itu, diperlakukan suatu langkah peralihan untuk meninggalkan secara
perlahan-lahan teknologi Barat yang sangat tidak ramah lingkungan.
Kelima, sehubungan dengan tanah dan laut,
SEM memandang bentangan alam, ekosistem, sungai, laut, dan keseluruhan entitas
lainnya secara partial lepas dari satu dari yang lain. Semua dilihat terutama
sebagai milik individu, kolompok, atau negara. Koservasi dan pemanfaatan tanah
dan laut dikembangkan dalam kerangka analisis keuntungan dan kerugian. Namun,
kerugian sosial dan kerugian ekologis yang berlingkup global dan jangka panjang
dari pengeloalaan sumber daya alam ini justru tidak pernah diperhitungkan.
Sebaliknya, DE beranggapan bahwa bumi
ini bukan milik manusia. Manusia hanya mendiami tanah ini, dengan memanfaatkan
sumber daya alam yang ada untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang vital.
Seandainya kebutuhan mereka yang sepele berbenturan dengan kebutuhan vital dari
makhluk bukan manusia, manusia harus mengalah. Bersamaan dengan itu, bagi DE
kehancuran lingkungan hidup tidak bisa diselamatkan dengan teknologi belaka.
Keenam, pendidikan dan penelitian ilmiah.
Bagi SEM degredasi lingkungan hidup dan berkurangnya sumber daya alam
membutuhkan semakin banyak tenaga “ahli” yang bisa memberi nasihat tentang
bagaimana melanjutkan pertumbuhan ekonomi sambil menjaga kelestarian lingkungan
hidup. Yang dibutuhkan adalah semakin banyak teknologi yang manipulatif untuk
“mengelola” bumi ini, ketika pertumbuhan ekonomi global membuat degredasi
lingkungan hidup semakin tidak terhindarkan dan semakin parah. Pengembangan
ilmu pengetahuan diharapkan terus lebih memprioritaskan “ilmu-ilmu keras”
(fisika dan kimia).
Bagi DE, seandainya saja kebijakan
yang ditempuh adalah yang ditempuh adalah yang ramah lingkungan, pendidikan
akan diarahkan pada peningkatan kepekaan terhadap lingkungan hidup, kesadaran
untuk menggunakan barang-barang yang tidak konsumtif, dan pengembangan modal
sosial untuk bersama-sama menata kehidupan, termasuk kehidupan ekonomi, yang
ramah lingkungan hidup. Prioritas dialihkan dari “ilmu-ilmu keras” ke
‘ilmu-ilmu lunak”, khususnya pengetahuan budaya, filsafat, dan etika. Bersamaan
dengan itu, kearifan tradisional digali kembali untuk memperkaya wawasan masyarkat
modern.
Ekofeminisme
Krisis lingkungan
hidup yang terjadi akhir-akhir ini berakar pada kesalahan perilaku manusia, dan
kesalahan perilaku manusia, kesalahan
perilaka manusia berakar pada kesalahan cara pandang manusia tentang dirinya,
alam dan hubungan antara manusia dengan alam atau tempat manusia dalam
keseluruhan alam semesta. Oleh karena itu, krisis lingkungan hidup hanya bisa
diatasi dengan melakukan perubahan fundamental pada cara pandang dan perilaku
manusia.
Atas dasar ini, telaah etika lingkungan hidup, harus pula membahas
ekofeminimisme. Ini terutama, karena, ekofeminisme merupakan sebuah bentuk
telaah etika lingkungan hidup yang ingin menggugat dan mendobrak cara pandang
dan perilaku baru untuk mengatasi krisis lingkungan hidup sekarang ini.
Ekofeminisme menawarkan sebuah telaah kritis atas akar dari semua krisis
lingkungan hidup dewasa ini. Ekofeminimisme juga menawarkan visi-visi
alternatif masa depan yang lebih ramah lingkungan hidup.
Sebagai sebuah telaah etika lingkungan hidup, ekofeminisme
merupakan bagian atau cabang dari feminimisme dilontarkan pertama kali tahun
1974 oleh seorang feminis Perancis Francoise d’Eaubonne menggugah kesadaran
manusia, khususnya kaum perempuan, akan potensi perempuan untuk melakukan
sebuah revolusi ekologis dalam menyelamatkan lingkungan hidup.
Karena ekofeminisme adalah sebuah cabang dari feminisme, ada
baiknya kita lihat sekilas terlebih dahulu pemikiran feminisme ini. Pemaparan
tentang feminisme ini sekedar memberi sedikit pengetahuan yang memungkinkan
kita memahami secara lebih tepat pemikiran dan perjuangan ekofeminisme. Ini
penting, karena tanpa pemahaman yang benar tentang feminisme itu sendiri kita
akan sulit memahami pemikiran ekofeminisme dan seluruh proyek besar
perjuangannya. Selanjutnya kita akan membahas dua hal. Pertama, logika dominasi yang menjadi sebab utama dari masalah
sosial yang terkait dengan relasi gender dan krisis ekologi yang menyangkut
relasi manusia dengan alam. Kedua,
membahas sekilas etika kepedulian yang diutamakan oleh ekofeminisme.
1.
Feminisme: Revolusi Cara Pandang
Feminisme merupakan sebuah aliran
filsafat yang mempersoalkan, mempertanyakan dan menggugat cara pandang dominan
dan umum berlaku dalam era modern, yang pertama-tama diwarnai oleh cara pandang
maskulin, patriarkis, dan hierarkis. Dalam perspektif itu, feminisme
mempertanyakan dan menggugat keabsahan semua cara pandang modernisme dengan
kecenderungan dasarnya untuk hanya menerima cerita-cerita besar dan prinsip-prinsip abstrak, umum, yang mendominasi modernisme.
2.
Logika Dominasi
Dalam kerangka ekologi, ekofeminisme adalah sebuah teori dan
gerakan etika yang, sebagimana halnya biosentrisme, ingin mendobrak etika
antroposentrisme yang lebih mengutamakan manusia daripada alam. Bahkan secara
lebih khusus, yang dilawan oleh ekofeminisme bukan sekedar antroposentrisme,
yaitu teori etika lingkungan hidup yang berpusat pada manusia (human-centered environmental ethics).
Yang dilawan oleh ekofeminisme adalah androsentrisme, yaitu teori etika
lingkungan hidup yang berpusat pada laki-laki (male-centered environmental ethics). Dalam hal itu, ekofeminisme
mengkritik ekosentrisme, khususnya DE, karena kritik DE dianggap masih saja
berpusat pada antroposentrisme sebagai sebab dari krisis ekologi. Padahal,
lebih dalam dari itu adalah dominasi laki-laki atas alam sebagai sebab dari
krisis ekologi. Bagi ekofeminisme, krisis ekologi tidak sekedar disebabkan oleh
cara pandang dan perilaku yang antroposentris. Krisis ekologi sesungguhnya
disebabkan oleh cara pandang dan perilaku yang androsentris: cara pandang dan
perilaku yang mengutamakan dominasi, manipulasi, eksploitasi terhadap alam.
3.
Etika
Kepedulian
Dari uraian
sebelumnya terlihat jelas bahwa ekofeminisme, sebagaiman feminisme pada
umumnya, menawarkan moralitas yang lain sama sekali dengan yang umum diterima
selama ini. Kalau etika yang dominan selama ini lebih menitik beratkan hak,
keadilan, dan prinsip universal seperti otonomi dan hormat kepada manusia
sebagai tujuan pada dirinya sendiri, ekofeminisme justru memersoalkan semua ini.
Bagi ekofeminisme, teori etika seperti ini justru lahir dari cara pandang
maskulin yang diwarnai oleh dominasi sehingga kembali meneguhkan dominasi.
Aliran Ekofeminisme merupakan aliran
atau cara pandang etika lingkungan yang paling tepat dikarenakan:
- Bersifat anti spesiesisme atau anti naturis; menolak teori etika yang mengagungkan spesies tertentu misalnya manusia lebih tinggi nilaianya dari pada makhluk hidup yang lain.
- Etika yang kontektual; menolak teori etika yang mengutamakan hak, norma, prinsip yang telah diterima sebagai yang benar yang diterapkan dalam situasi konkrit.
- Bersifat pluralistik : menerima dan mempertahankan perbedaan dan keragaman. Perbedaan dan keragaman tidak perlu menimbulkan konflik dan dominasi.
- Bersifat inklusif : muncul dan berlaku dalam relasi antarsubyek, relasi yang sejajar sebagai subyek. Setiap subyek dirangkul dan dihargai sebagai bagian yang bernilai pada dirinya sendiri dari keseluruhan ekosistem yang ada.
- Menolak individualisme abstrak yang lepas dari realitas historisnya. Manusia dilihat dalam relasi (sosial dan kosmis) dan kontek
Tetapi yang perlu diingat boleh saja kita memilih etika feminisme,
tanpa terperangkap dalam logika dominasi dan jika logika dominasi ini masuk
dalam pemikiran etika lingkungan ini maka ekofeminisme malah mengiyakan
seksisme, naturalisme, dan spesiesme yang justru ditolaknya.
Ada relasi yang kuat antara etika
lingkungan terhadap bidang kajian yang saya tekuni yaitu bidang Akuntansi.
Dari rumpun filsafat
etika lingkungan hidup merupakan cabang dari filsafat etika yang membahas
tentang penilaian baik dan buruk hubungan antar manusia (hubungan sosial).
Selanjutnya filsafat etika(moral) yang
mempelajari (mendapatkan pengetahuan) interaksi manusia kita kenal ilmu
ekonomi. Sedangkan ilmu ekonomi sendiri terbagi ke dalam studi pembangunan,
manajemen dan akuntansi.
Pencegahan
kerusakan lingkungan merupakan tanggung jawab kita bersama; masyarakat, pemerintah
dan perusahaan. Untuk mencegah kerusakan lingkungan yang sebagaian besar diakibatkan
oleh aktivitas ekonomi (perusahaan-red), dimana mengadopsi konsep kapitalisme
yang menuntut perusahaan dapat menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya dan
menekan biaya sekecil-kecilnya termasuk biaya konservasi lingkungan. Pada
kondisi ini perusahaan akan mengorbankan/menomor sekiankan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh
aktivitasnya. Akuntansi konvensional tidak mampu melaporkan tindakan perusahaan
dalam mencegah kerusakan lingkungan di semua tingkatan aktivitasnya, di sisi
lain perusahaan telah mengeluarkan dana yang cukup besar dalam konservasi
lingkungan dan biaya-biaya ini disembunyikan dalam biaya overhead pabrik atau
biya administrasi. Akuntansi lingkungan memberikan jawaban bahwa perusahaan
yang berpotensi menimbulkan kerusahan lingkungan untuk secara wajib melaksanakan
tindakan–tindakan konservasi lingkungan yang terekam(dilaporkan) dalam pengungkapan
akuntansi lingkungan. Akuntansi lingkungan memberikan manfaat kepada dua pihak
sekaligus; pihak internal perusahaan dalam hal ini manajer akan mudah untuk
mengetahui biaya-biaya yang telah dikeluarkan sehingga berguna bagi penentuan
harga produk. Dan pihak eksternal perusahaan yaitu masyarakat akan bisa menilai
bahwa perusahaan telah peduli dengan lingkungan yang dapat dilihat dari
penungkapan akuntansi lingkungan. Dengan demikian akuntansi lingkungan
memberikan dorongan pencegahan kerusahan lingkungan dan merupakan keharusan
laporan yang dibuat oleh perusahaan jika lingkungan ingin terjaga dalam rangka
pembangunan berkelanjutan (sustainable
development).
Langganan:
Postingan (Atom)